Candi Sukuh (Sumber Google) |
Candi Sukuh berada di terletak di Dusun Sukuh Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar - Jawa Tengah. Candi Sukuh berada di lereng bagian barat Gunung Lawu dengan ketinggian ±910 Meter diatas permukaan laut. Kompleks Candi Sukuh menempati areal seluas ±5.500 m2 yang terdiri atas tiga teras bersusun. Candi ini dikategorikan sebagai bukti peninggalan sejarah ajaran Hindu di Indonesia, hal ini diperkuat dengan ditemukannya obyek pujaan seperti lingga dan yoni. Candi Sukuh diperkirakan dibangun pada akhir abad ke-15 Masehi.
Pada
Tahun 1815, Candi Sukuh ditemukan kembali oleh Johnson, seorang Residen
Surakarta yang menjabat pada masa pemerintahan Raffles. Namun pada saat itu,
bangunan candi ditemukan dalam keadaan runtuh. Pada Tahun 1842, dilakukanlah
penelitian oleh Van der Vlis yang hasilnya tersebut dilaporkan dalam buku Van
der Vlis yang berjudul Prove Eener Beschrijten op Soekoeh en Tjeto. Dibutuhkan
waktu yang tidak sebentar untuk meneliti candi tersebut, barulah pada tahun
1864-1867 dilanjutkan kembali oleh Hoepermans yang hasilnya dilaporkan dalam
bukunya yang berjudul Hindoe Oudheiden van Java. Pada tahun 1889, Verbeek
mengadakan inventarisasi terhadap candi Sukuh, yang dilanjutkan dengan
penelitian oleh Knebel dan WF. Stutterheim pada tahun 1910.
Menurut
dugaan para ahli, Candi Sukuh dibangun untuk tujuan menangkal atau melepaskan
kekuatan buruk (pengruwatan) yang mempengaruhi kehidupan seseorang akibat
ciri-ciri tertentu yang dimilikinya. Dugaan tersebut didasarkan pada kontur relief-relief
yang memuat cerita-cerita pengruwatan, seperti Sudamala dan Garudheya, dan pada
arca kura-kura dan garuda yang terdapat di Candi Sukuh.
Bangunan
candi Sukuh memberikan kesan kesederhanaan yang mencolok pada para pengunjung.
Kesan yang didapatkan dari candi ini sungguh berbeda dengan yang didapatkan
dari candi-candi besar yang berada di Jawa Tengah semisal Candi Borobudur dan
Candi Prambanan. Bentuk bangunan candi Sukuh lebih cenderung mirip dengan
peninggalan budaya bangsa Maya yang berada di Meksiko, peninggalan budaya Inca yang
berada di Peru atau bahkan bentuk piramid yang berada di Mesir. Meski struktur bangunan terlihat
sederhana, namun tidak menyurutkan wisatawan lokal dan mancanegara untuk datang
berkunjung ke Candi Sukuh. Terlebih dengan predikat sebagai candi yang vulgar
cukup melekat.
Namun,
menurut arkeolog terkenal asal Belanda, W.F. Stutterheim (1930), kesan
kesederhanaan ini memiliki arti yang perlu diungkap. Ia mencoba menjelaskannya
dengan memberikan tiga argumen. Pertama, kemungkinan pemahat Candi Sukuh bukan
seorang tukang batu melainkan tukang kayu dari desa dan bukan pemahat handal
semisal dari kalangan keraton. Kedua, candi dibuat dengan agak tergesa-gesa
sehingga hasilnya terlihat kurang rapi. Ketiga, dengan kondisi keadaan politik
kala itu yang sedang kacau menjelang runtuhnya Kerajaan Majapahit sehingga tidak
memungkinkan untuk membuat candi yang besar dan megah.
Namun
Candi Sukuh dinilai menyimpang dari ketentuan dalam kitab pedoman pembuatan
bangunan Suci Hindu, Wastu Widya. Menurut ketentuan, sebuah candi harus
berdenah dasar bujur sangkar dengan tempat yang paling suci terletak di tengah.
Adanya penyimpangan tersebut diduga karena Candi Sukuh dibangun pada masa
memudarnya pengaruh Hinduisme di Jawa. Dengan memudarnya pengaruh tersebut,
justru menghidupkan kembali kebudayaan setempat dari zaman Megalitikum.
Pengaruh zaman prasejarah terlihat dari bentuk bangunan Candi Sukuh yang
merupakan teras berundak. Bentuk semacam itu mirip dengan bangunan punden
berundak yang merupakan ciri khas bangunan suci pada masa pra-Hindu. Ciri khas
lain bangunan suci dari masa pra-Hindu adalah tempat yang paling suci terletak
di bagian paling tinggi dan paling belakang.
Pelataran
pertama Candi Sukuh dikenal dengan gapura utama. Disini terdapat ‘Sengkala
Memet’ yang diartikan sebagai raksasa manusia pemangsa manusia. Kalau ditelisik
lagi, disebelahnya juga terdapat Sengkala Memet dengan wujud gajah yang
mengenakan sorban sambil menggigit ekor ular yang kemudian diartikan sebagai
raksasa gapura yang sedang menggigit ekor. Pada lorong
gapura, terdapat satu ruang dalam gapura yang terdapat pahatan alat
kelamin pria (yoni) dan wanita (lingga) terlihat sedang bersenggama.
Penggambaran ini begitu jelas sehingga menjadi ciri khas Candi Sukuh.
Pelataran
Kedua, terdapat candrasangkala atau ‘gajah wiku anahut buntut’ yang
berarti gajah pendeta menggigit ekor dan dwarapala atau patung penjaga
pintu dan kondisi tidak sempurna. Banyak didapati bangunan gapura yang sudah
rusak seperti tanpa atap dan tidak ada relief-relief patung.
Pelataran ketiga
memiliki luasan yang jauh lebih besar dan dianggap sebagai bagian induk Candi
Sukuh karena dianggap memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan suci. Pelataran
ini dihiasi beberapa relief di sebelah kiri serta patung-patung yang
mendominasi bagian kanan. Dan sepertinya, penempatan sesaji seperti kemenyan
dan dupa terletak tepat di atas candi utama dalam bentuk bujur sangkar.
Demikian ulasan singkat mengenai Candi Sukuh, semoga dapat bermanfaat bagi para pengunjung Blog Mejarapuh.
Terima Kasih.
Demikian ulasan singkat mengenai Candi Sukuh, semoga dapat bermanfaat bagi para pengunjung Blog Mejarapuh.
Terima Kasih.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan masukkan komentar Anda di sini